
Nasi Goreng Petak Sembilan: Daging Sapi dan Telur Ceplok Tapi Dimasak di Atas Got
Jakarta, kota yang tak pernah tidur, menyimpan segudang cerita kuliner yang menggoda selera. Salah satu destinasi paling ramai dan penuh kejutan adalah kawasan Petak Sembilan di Glodok, Jakarta Barat. Kawasan ini bukan hanya pusat budaya Tionghoa yang kental, tapi juga surga bagi para pencinta makanan jalanan. Di antara aroma dupa dan suara pedagang yang bersahutan, terdapat satu hidangan yang mencuri perhatian: Nasi Goreng Petak Sembilan, menu legendaris yang terkenal bukan hanya karena rasanya, tapi juga karena cara memasaknya yang bikin geleng-geleng kepala—di atas got!
Daging Sapi dan Telur Ceplok: Kombinasi Juara
Soal rasa, tak perlu diragukan. Nasi goreng ini menggunakan irisan daging sapi empuk, bumbu rempah khas, dan telur ceplok setengah matang yang ditaruh di atas nasi hangat. Kombinasi ini menghasilkan rasa gurih, sedikit manis, dengan sentuhan rajazeus asap wajan yang menggoda. Beberapa pembeli bahkan menyebut rasanya “beda dari nasi goreng biasa”, seolah ada cita rasa jalanan yang sulit dijelaskan tapi bikin ketagihan.
Namun, di balik kelezatannya, ada satu fakta yang membuat sebagian orang menelan ludah dua kali: proses memasaknya dilakukan tepat di atas saluran air terbuka, alias got!
Dapur di Pinggir Got: Keterbatasan atau Sensasi?
Penjual nasi goreng ini menggunakan kompor gas portabel yang diletakkan di atas rangka besi kecil yang menjorok ke atas got. Meski terlihat seadanya, sang penjual tampak lihai mengolah bahan dengan cepat—mengaduk nasi, menumis bumbu, membolak-balik daging dan telur dalam satu wajan besar, semuanya sambil berdiri di atas alas yang nyaris menyentuh air got di bawahnya.
Tentu saja, banyak yang mempertanyakan kebersihannya. Bau got yang terkadang menyengat, lalat yang beterbangan, dan genangan air di sekitar tempat masak menjadi pemandangan sehari-hari. Tapi anehnya, antrean tak pernah sepi. Para pembeli justru datang karena penasaran dan tertantang. Ada yang menganggap ini sebagai pengalaman kuliner ekstrem, semacam “uji nyali” gastronomi di tengah kota.
Antara Tradisi, Keberanian, dan Realita
Bagi sang penjual, memasak di atas got bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Keterbatasan ruang, mahalnya biaya sewa kios, dan persaingan ketat membuatnya tetap bertahan di posisi itu selama bertahun-tahun. “Yang penting enak dan pelanggan puas,” katanya santai saat ditanya soal lokasi memasaknya.
Fakta ini menyentil realita banyak pedagang kaki lima di kota besar. Mereka adalah pejuang rasa yang bertahan di tengah kerasnya urbanisasi, memanfaatkan setiap celah ruang yang tersedia, bahkan jika itu berarti harus berdamai dengan got terbuka.
Rasanya Juara, Tapi Perlu Solusi
Nasi Goreng Petak Sembilan memang bisa dibilang kuliner ekstrem—bukan karena rasa pedasnya, tapi karena latar belakangnya yang kontroversial. Bagi sebagian orang, ini adalah bagian dari warna warni kuliner jalanan Indonesia. Namun bagi yang lain, ini menjadi alarm soal pentingnya dukungan fasilitas dan perhatian dari pemerintah terhadap para pedagang kecil.
BACA JUGA: Kuliner Malam Malang: Rawon Daging Hitam yang Dimasak dengan Kayu Bakar Berdebu